BUDJUNG: mempertemukan kembali Makassar-Marege| BUDJUNG: reunite Makassar-Marege (Makassar-Australia)

CJcGqzuUkAAUhwD.jpg
Nawurapu Wunungmurra, Jamie (Nawrapu’s grandson), Daeng Tutu, and Imran Melulu at Rumata Art Space. source: https://topsy.one/hashtag.php?q=Nawurapu . image by Paul Grigson

Juli 2015 lalu, atas prakarsa Kedutaan Besar Australia, seniman Aborigin asal Yirrkala dari wilayah Nothern Teritory, Australia, melakukan kunjungan ke Makassar di Rumah Budaya Rumata’ di mana saat itu saya bekerja sebagai Direktur Pengembangan dan Kerjasama. Kunjungan ini menghadirkan Nawurapu Wunuŋmurra beserta Jamie, cucu Nawurapu dan didampingi oleh Will Stubbs dari Yirrkala Art Centre, Alison Purnell dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta, produser seni Rama Thaharani serta programmer seni Ali Donellan. Kehadiran Nawurapu memberi moment yang penting dalam menghubungkan kembali seniman Australia-Makassar.

Sore itu, di halaman belakang Rumata’ Art Space, Nawurapu membagi proses kreatifnya dihadapan 20an seniman Makassar. Kedatangan Nawurapu difasilitasi oleh Kedutaan Besar Australia di Indonesia untuk menyerahkan koleksi batik Yirrkala, sebuah karya tekstil yang dikerjakan oleh seniman batik Pekalongan dengan merepro lukisan kulit kayu karya Nawurapu tentang pelaut Makassar. Kelak, tekstil ini dihibahkan ke Museum Kota Makassar dan Museum Tekstil Indonesia di Jakarta.

Yirrkala batik at Makassar City Museum
Visitor at Makassar City Museum with Nawurapu’s Yirrkala Batik behind. Image by: @abdi.karya

Bukan hanya Nawurapu, Daeng Tutu –pasinrilik, pemusik sastra tutur Makassar- seorang seniman asal Gowa juga membagi pengalamannya saat melakukan perjalanan di Elcho Island, wilayah pesisir pantai utara Australia yang lokasinya tidak jauh dari Yirrkala. Menjelang akhir sesi, keduanya melakukan jam session, dengan instrumen yidaki  atau didgeridoo, bellima, kesok-kesok, gandrang Makassar dan nyanyian Makassar-Aborigin. Nawurapu dan semua yang hadir mendapat kesan mendalam. Will Stubbs, sebagai pendamping sekaligus kurator pusat kesenian yang ada di Yirrkala berjanji akan melanjukan kerjasama antara seniman Aborigin-Makassar. Sebagai kenang-kenangan, Nawurapu memberi saya sebuah makane, lukisan diatas kayu dengan simbol-simbol klan Yolŋu yang dia miliki. Saya menitipkan sebuah bempa atau gentong air, terbuat dari tanah liat yang dibikin oleh penduduk di Desa Soreang, Kabupaten Takalar.

Seminggu setelah perjalanan mereka di Makassar, Will Stubbs mengirimi saya sebuah foto berupa pecahan tembikar yang dia temukan di tepi pantai belakang rumahnya di Yirrkala. Atas informasi dia, tembikar ini berasal dari pelaut Makassar saat mereka menetap sementara waktu selama perburuan teripang. Saya kemudian melacak informasi lebih jauh terkait teripang dan tembikar ini. Will kemudian mengirimi saya sebuah foto lagi, kali ini hasil lukisan Nawurapu dengan media gentong air yang dia bawa dari Makassar. Nawurapu membagi ingatannya tentang kisah pelaut Makassar yang diceritakan turun temurun oleh leluhurnya, melekat kuat di ingatannya. Lukisan indah tentang sampan, pemburu teripang, layar perahu, pipa tembakau dan alat pertukangan. “Will, let’s do something with this.” kata saya pada saat itu. Jadilah kemudian kami sepakat untuk mengirim sejumlah tembikar berbagai ukuran dan bentuk untuk kemudian dilukis oleh seniman Yirrkala. Seratus tembikar saya kirim ke Yirrkala dari Takalar melalui Darwin. Beberapa pecah dalam perjalanan, tapi yang pasti, Will berhasil membagi tembikar itu ke sejumlah seniman Yolŋu untuk melukis diatasnya. Indah sekali. Seniman dari dua klan utama Yolŋu di Yirrkala, Yirritja dan Djuwa, mereka melukis, membagi ingatan, bayangan, imajinasi mereka tentang hubungan Australia-Makassar yang turun temurun dikisahkan oleh leluhur mereka.

Singkat cerita, dalam rangka memperingati NAIDOC Week 2017, pekan budaya Aborigin, yang setiap tahun diperingati oleh pemerintah Australia di seluruh dunia, saya merancang  sebuah pameran berjudul BUDJUNG dengan kurator Will Stubb dari Yirrkala Art Centre. Budjung berarti sumur atau wadah air dalam bahasa Bugis, dan juga Budjong dalam bahasa Yolŋu berarti wadah air. Klop sekali. 

Kami memamerkan beberapa tembikar pilihan yang telah dilukis seniman Yirrkala untuk dipamerkan di Museum Kota Makassar agar publik Makassar bisa menyaksikan pertemuan, dialog kedua budaya yang telah berhubungan lebih dari empat abad melalui karya tembikar. Selain karya tembikar ini, pameran ini juga menampilkan repro lukisan kulit kayu karya maestro seniman Nothern Teritory koleksi Museum Nasional Australia. Pameran ini bisa terlaksana atas dukungan dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta serta Konsulat Jenderal Australia di Makassar.

unnamed-3
some of the Makassar claypots paited by Yolngu artists at Yirrkala Art Centre-Nothern Territory. Image by Will Stubbs.

Berikut catatan kurasi Will Stubbs:

Kunjungan berabad-abad yang dilakukan oleh orang-orang Makassar ke semenanjung utara Australia, telah dihentikan oleh pemerintah Australia. Pelaut-pelaut ini, para pencari teripang dari pesisir pantai, selama enam abad telah bolak balik dengan angin musiman dari area yang sekarang ini dikenal dengan Sulawesi. Hubungan mereka dengan orang Yolŋu terjalin erat dan hubungan ini, kelak membuat kebudayaan Makassar menjadi bagian penting dari kebudayaan milik orang Yolŋu. Sebagaimana musim yang awet berputar tanpa henti, begitupun kedatangan orang Makassar. Nyanyian keramat orang Yolŋu menceritakan bahwa awan yang muncul di cakrawala senja adalah penampakan awal tanda untuk musim berlayar perahu orang-orang Makassar. Sebagian Bahasa Makassar diadopsi kedalam kosa kata Yolŋu dan dalam beberapa kasus, terdapat pembagian silsilah keturunan melalui perkawinan. Barangkali karena adanya keterampilan berlayar orang Yolŋu yang dipelajari dari orang Makassar, generasi berikutnya kemudian melakukan pelayaran dengan sampan atau layar perahu bergaya Makassar. 

Pemerintah lokal yang berada di Pelabuhan Bradshaw adalah Bawaka. Daerah ini juga dikenal dengan sebutan Gambu Djigi yang dipahami dari kata Kampong Dzikir, sebuah desa sakral yang dekat dengan Allah/Tuhan. Saat ini, penduduk setempat yang memiliki nama Danygutjing, memiliki hubungan dengan Daeng atau Tuan Yutjing yang mana dalam bahasa Makassar (Arab) berarti Husein. Di tempat inilah bermunculan kepingan-kepingan tembikar panci di pasir pantai setelah musim penghujan. Sepertinya ada jumlah yang sangat besar dari pecahan tembikar ini. Untuk memahami muasal  dan kepadatan jenis tembikar ini, seorang utusan dari Buku-Larrŋgay (Pusat Kesenian Yirrkala), berangkat ke Sulawesi pada tahun 2015. Bapak Nawurapu Wunuŋmurra, seorang seniman kami dari Buku-Larrŋgay, melakukan pertukaran dengan saudara Abdi Karya dari Rumah Budaya Rumata’ , dengan salah satu dari tembikar ini. Hal tersebut menjadi pengantar upaya pembaruan terkait hubungan mengenai tembikar melalui hiasan yang berangkat dari motif Yolŋu untuk menghormati hubungan dan menghargai kemanusiaan.

 

Rrripa ngunha marrityi Warwu, Djapana Galanggarri

Lithara biyma garrgarrnga wambalmirri dhatumirri

Rrama djapana

Warna warni senja, berbagai jenis awan-awan kecil yang berkumpul mengitari langit. Terkadang membuat kami sedih, saat kami mengenang orang-orang yang telah pergi

(Djapana, salah satu dari sekian banyak lagu orang Yolngu tentang pelaut Makassar)

 

 

***

 

On July 2015, initiated by Australian Embassy in Indonesia, Yolŋu artist from Yirrkala in Nothern Territory-Australia had visited Rumata’ Art Space to share his creative process at the same time tracking back his ancestor’s village in Makassar through stories. I was still working as Director for Development and Partnership when the artist, Nawurapu Wunungmurra, visited Makassar. He was assisted by Jamie, his grandson as well as Australian Embassy team: Alison Purnell, Rama Thaharani, Ali DOnnellan as well as Will Stubbs, curator for Yirrkala Art Centre.  Nawurapu’s visit reset an important moment for reunite between Makassar and Marege, the way Makassar sailors called Aborigin-Australia.

unnamed
pieces of claypots found at Bawaka beach in Yirrkala. image by Will Stubbs

 

That sunny afternoon, at the Rumata’ Art Space’s backyard, Nawurapu shared his creative process in front of 20 artists from Makassar. There was also Daeng Tutu –pasinrilik, musician cum storyteller from Makassar, he shared his experience when he visited Elcho Island for 40 days in Nothern Territory. Shared about his daily activities with Yolŋu people and visiting sites and artifacts remained the legacies from Makassar sailors during teripang (sea cucumber) expedition. At the end of the session, they did jam session. With yidaki or didgeridoo, bellima the clicking stick, kesok-kesok and gandrang Makassar. Everyone impressed.Will Stubbs promised to continue program between Yolŋu and artists from Makassar. To remember the moment, then we trade, like we used to do hundreds years ago. Nawurapu gave me makane, a painted soft wood with sacred images from his clan. I hand him a water pot made from clay which is originally from Soreang village in Takalar regency, southern part of Makassar city.

claypot making in Soreang village, Takalar
the claypot makers in Soreang village in Takalar regency-South Sulawesi, burn the pots just in front of their house. Image by Abdi Karya.

A week after his trip, Will sent me an images of chips of pots he found on the beach in Yirrkala nearby his house. He said the pots, claypots, brought by Mangathara or Macassan, sailors from Makassar when they trade trepang in Nothern Territory. The I read related informations about it. Will sent me again an images of painted pot. It was the pot I gave him. Painted by Nawurapu about Makassar people. Beautiful images about boat, canoe, sea cucumber hunt, tobacco pipe, sails and weapon. From that moment on, Will and I decided to make a program. Then we sent a hundred claypots various shapes and sizes from Takalar to Darwin and then Yirrkala, to be painted by Yolŋu artists. Some of the pots were broken but Will managed to hand them to Yirrkala artists. Strongly beautiful images. Artists from both clans in Yolŋu, Yirritja and Djuwa, they painted, shared their thoughts, memories, imaginations, dreams about relationship between Australian-Makassar which been told by their elders since more than four hundred years ago, generations to generations.

Water pot.jpg
Nawurapu’s painting on Makassar water pot. Image by Will Stubbs

To make it short, I arranged and curated an exhibition called BUDJUNG, during the celebration of NAIDOC Week 2017, an annual event to celebrate Australian Aboriginal cultures in all over the worl. With Will Stubbs from Yirrkala At Centre, we managed to exhibit five selected pots at Makassar City Museum. Beside the pots, we also displayed selected repro of bark paintings by Australian Old Masters from Australian National Museum. The exhibition supported by Australian Embassy in Jakarta and Australian General Consulate in Makassar, the exhibition.

Here I’m putting curator’s note by Will Stubbs:

Since the turn of the century the annual visitations of the Makassanese to the Top End shores of Australia were put to a stop by the Australian authorities. These sailors, gatherers of darriba trepang from coastal waters, had for up to six centuries caught the seasonal winds back and forth from what is now known as Sulawesi. The relationship they had with the Yolŋu was amiable and through this annual contact over such a period of time elements of Macassan culture became joined with that belonging to the Yolŋu. As the seasons of the year ran the same ageless cycles so did the Macassan visits. Yolŋu sacred songs tell of the first rising clouds on the horizons – the first sightings for the year of the Macassan praus’ sails. Some of the Macassan language has been adopted into the Yolŋu vocabulary and in some cases genealogies shared. It is probable that Yolŋu seamanship was learnt from the Macassan and it was only a generation or so ago that Yolŋu travelled the coast in dugout canoes, some fitted with Macassan styled sail.

The local homeland on Port Bradshaw is Bawaka but also known by its Makassan name Gambu Djegi which it is now understood is a transliteration of Kampong Zikir, a village sacred to Allah/God). Local men have the name Danygutjing which now appears to be a reference to Daeng or Mister Yutjing which is itself the Makassan transliteration of Hussein. This place is an ongoing source of fragments of pot buried in the sand which come to the surface after the Wet Season. There seems to be a limitless supply of these shards of pot. In order to understand the origin of such a density of this ceramic material a delegation from Buku-Larrŋgay went to Sulawesi in 2015. Nawurapu Wunungmurra of Buku-Larrŋgay Mulka Centre traded with Abdi Karya of Rumata Art Space for one of these pots. This led to a renewal of teh relationship ariund these pots and now they return to Sulawesi adorned with Yolŋu designs honouring therelationship and shared humanity.

 

Rrripa ngunha marrityi Warwu, Djapana Galanggarri

Lithara biyma garrgarrŋa wambalmirri dhatumirri

Rrama djapana

Colours of dusk, various of small clouds gathered in the sky. Sometimes made us sad when we remember those who left

(Djapana, sacred song from Yolngu about Makassar sailors)

 

 

 

 

Tinggalkan komentar